www.lineberita.id – KAB. TANGERANG – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Provinsi Banten menemukan adanya ketidaksesuaian serius terkait pengelolaan dan pertanggungjawaban belanja Bantuan Operasional Sekolah (BOS) di tujuh sekolah yang ada di Kabupaten Tangerang. Temuan ini menyoroti isu penyalahgunaan wewenang dan ketidakpatuhan terhadap peraturan yang seharusnya diikuti, serta skandal kolusi antara sekolah dan penyedia. Situasi ini berpotensi merugikan keuangan publik secara signifikan.
Pemerintah Kabupaten Tangerang telah menganggarkan belanja barang dan jasa untuk BOS sebesar Rp357.250.345.694,00, dengan realisasi yang tercatat mencapai Rp347.891.256.122,00 atau sekitar 97,38 persen pada tahun 2024. Dana BOS ini merupakan bagian dari Dana Alokasi Khusus (DAK) nonfisik yang diperuntukkan bagi Satuan Pendidikan Dasar (Satdikdas), PAUD, dan Kesetaraan.
Pengelolaan dana BOS tingkat sekolah diatur oleh Tim Manajemen BOS Sekolah, dengan bendahara BOS bertanggung jawab terhadap pengelolaan kas dan pertanggungjawaban belanja melalui aplikasi Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (ARKAS). Namun, terdapat temuan serius dalam pengelolaannya.
Penyimpangan Pengelolaan Dana BOS di Beberapa Sekolah
BPK melakukan pemeriksaan uji petik terhadap belanja yang direalisasikan dari dana BOS tahun 2024 pada lima SD Negeri dan dua SMP Negeri. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa laporan keuangan mencerminkan kebenaran dan keabsahan dokumen terkait pertanggungjawaban belanja dana BOS.
Ketujuh sekolah tersebut termasuk SDN Gintung II yang melaporkan belanja barang dan jasa serta belanja modal yang totalnya mencapai Rp944.580.000. Selain itu, ada SDN Kutabumi I sebesar Rp601.510.000, SDN Binong II Rp517.790.000, dan sekolahan lainnya dengan jumlah yang bervariasi.
Dari hasil pemeriksaan, terungkap bahwa tanggung jawab pengadaan barang dan jasa pada tujuh sekolah tersebut dilakukan melalui Sistem Informasi Pengadaan Sekolah (SIPLah). Akan tetapi, sebagian besar realisasi sebenarnya dilakukan secara tunai, tanpa disertai dokumentasi yang sah.
Pola yang serupa terlihat dalam pengelolaan keuangan di ketujuh sekolah ini. Toko SIPLah digunakan untuk mendokumentasikan pertanggungjawaban dan mendapatkan fee atau imbalan sebesar 5 persen dari nilai transaksi. Sementara itu, sekolah hanya menerima dana setelah pemotongan pajak dan fee tersebut.
Selisih atas transaksi yang dilakukan secara tunai ternyata tidak muncul dalam laporan ARKAS, sehingga membiarkan bendahara sekolah menyimpan dana tersebut untuk pengeluaran di luar peruntukan ARKAS. Belanja dana BOS yang tidak sesuai ini tercatat mencapai Rp878.091.700.
Rinciannya meliputi SDN Gintung II yang memiliki biaya operasional tidak terlapor sebesar Rp282.856.000, dengan pengeluaran dari SDN lainnya juga terdaftar dengan ketidakcocokan yang sama.
Pemeriksaan di SMPN II Sepatan Timur menunjukkan bahwa Kepala Sekolah dan Bendahara BOS menerima selisih transaksi dan memanfaatkan dana BOS untuk pengeluaran di luar yang seharusnya, menimbulkan keraguan pada transparansi pengelolaan.
Imbalan dalam Transaksi SIPLah
Pada laporan yang sama, BPK juga menemukan ada praktik kolusi dalam pemberian imbalan dari empat penyedia SIPLah, yang totalnya mencapai Rp79.709.780,69. Imbalan ini diberikan kepada sekolah melalui skema pengembalian uang yang disamarkan dalam harga jual barang.
Cara-cara tidak etis ini meliputi modus pinjam nama perusahaan untuk pembuatan dokumen pertanggungjawaban yang menguntungkan pihak tertentu. Keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut juga diawasi oleh BPK, dan pengakuan dari para Kepala Sekolah serta Bendahara menunjukkan adanya pengelolaan dana BOS yang lemah.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Tangerang menyatakan bahwa mereka sepakat dengan temuan BPK dan bersedia melaksanakan rekomendasi yang diberikan agar pengelolaan dana kedepannya lebih baik.
Penyebab Lemahnya Pengawasan
Masalah yang terjadi di tingkat sekolah ini mencerminkan lemahnya pengawasan dari Dinas Pendidikan. Kepala Bidang, serta Kepala Seksi terkait, dinilai tidak optimal dalam menjalankan fungsinya untuk memantau penggunaan dana. Kurangnya verifikasi oleh Kepala Sekolah terhadap bukti pertanggungjawaban turut memperburuk keadaan.
Pengawasan internal yang tidak berjalan baik ini mengarah pada penyalahgunaan wewenang dan penggunaan dana BOS yang tidak sesuai dengan ketentuan. Hal ini menyebabkan kerugian yang cukup signifikan dan merugikan siswa serta masyarakat yang bergantung pada keberadaan sekolah.
Dari analisis BPK, direkomendasikan agar Bupati Tangerang mengendalikan penatausahaan dan pertanggungjawaban belanja di sekolah-sekolah yang terlibat. Pejabat terkait diminta untuk meningkatkan pengawasan dan memastikan bahwa laporan yang disampaikan mencerminkan kondisi yang sebenarnya.
Rekomendasi tersebut juga mencakup tindakan untuk mempertanggungjawabkan total belanja dana BOS yang tidak sesuai dan menyetorkannya ke kas daerah. Penanganan kelebihan pembayaran dari transaksi SIPLah pun perlu dilaksanakan agar tidak terjadi pelanggaran yang lebih lanjut.
Saat ini, konfirmasi dari pihak terkait masih terus diupayakan untuk mendalami lebih lanjut mengenai temuan ini. Sekretaris Dinas Pendidikan mengonfirmasi bahwa temuan BPK telah ditindaklanjuti dan berharap adanya perubahan positif dalam pengelolaan dana BOS ke depan.
“Kami sudah menindaklanjuti,” demikian pernyataan singkat dari Sekretaris Dinas Pendidikan. Namun, pertanyaan mengenai apakah ada sanksi bagi para Kepala Sekolah terkait pengelolaan yang tidak sesuai, masih belum mendapat jawaban jelas.
Dengan adanya kondisi ini, diharapkan perbaikan sistem pengawasan dan transparansi menjadi prioritas ke depan agar penggunaan dana publik dapat lebih baik dan tidak ada lagi praktik yang merugikan pendidikan dan masyarakat luas.