KAB. SERANG – Sejumlah warga dari Pulau Sangiang dan Lembaga Pena Masyarakat melakukan unjuk rasa di depan Kantor Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Kabupaten Serang pada Selasa (20/5/2025). Tindakan ini diambil untuk menolak perpanjangan Hak Guna Bangunan (HGB) yang dimiliki oleh PT Pondok Kalimaya Putih (PKP) di pulau tersebut.
Konflik agraria yang melanda Pulau Sangiang telah berlangsung selama 30 tahun, dimulai dari tahun 1994 hingga tahun 2024. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan ini bukan hanya sekedar isu teknis, tetapi melibatkan aspek sosial dan hak asasi manusia.
Direktur Pena Masyarakat, Mad Haer Effendy, menyatakan bahwa tujuan dari pertemuan ini adalah untuk menyuarakan aspirasi warga yang selama bertahun-tahun terpinggirkan akibat keberadaan perusahaan. “Kami di sini mewakili masyarakat Pulau Sangiang untuk menyampaikan bahwa konflik ini sudah berlangsung lama. Kami meminta kepada ATR/BPN untuk tidak memperpanjang HGB milik PKP ini,” ungkap Mad Haer.
Meski hasil pertemuan tersebut belum mencapai kesepakatan konkret, Mad Haer menganggap ini sebagai langkah awal untuk membuka dialog. “Diskusi ini masih pada tahap mediasi, di mana masing-masing pihak menyampaikan harapan dan pendapat. Walaupun belum ada hasil final, kami merasakan adanya kemajuan dalam pembicaraan tentang penyelesaian masalah di Pulau Sangiang,” tambahnya.
Selama beberapa tahun terakhir, Mad Haer mengaku sudah sering mengunjungi Pulau Sangiang dan menyaksikan langsung berbagai kompleksitas yang terjadi di sana. Ia mencatat berbagai masalah, mulai dari kriminalisasi warga hingga minimnya perhatian dari pemerintah serta perusahaan. “Setiap tahun selalu ada kasus kriminalisasi, dan saat bencana, masyarakat tidak mendapat perhatian yang semestinya. Ini membuktikan bahwa konflik ini tidak berpihak pada kepentingan umum, melainkan pada kepentingan perusahaan,” tandasnya.
PT PKP, lanjutnya, tampak berambisi untuk menguasai Pulau Sangiang secara keseluruhan, sementara masyarakat yang telah tinggal dan menggantungkan hidup dari hasil bumi pulau tersebut justru makin terpinggirkan. “Dulu, warga bisa hidup dari kebun yang menghasilkan beras, sayur, dan buah. Sekarang, tinggal kelapa yang tersisa sebagai komoditas utama,” jelasnya.
Lebih lanjut, Mad Haer mengungkapkan adanya intimidasi terhadap warga agar meninggalkan pulau. “Warga didatangi dan dirayu untuk hengkang dengan iming-iming ganti rugi, namun tanpa jaminan akan mendapatkan kehidupan yang layak di daratan,” katanya. “Mereka sudah merasa nyaman tinggal di pulau dan ingin tetap tinggal untuk meneruskan kehidupan mereka.”
Pulau Sangiang memiliki sejarah dan keterikatan yang mendalam dengan warganya. Namun, status hukum pulau sebagai kawasan Taman Wisata Alam (TWA) dan kepemilikan HGB oleh swasta menjadikan eksistensi warga dianggap ilegal. “Secara hukum, mereka dianggap pendatang gelap, padahal mereka sudah membangun kehidupan jauh sebelum klaim-klaim ini terjadi,” paparnya.
Menurut data dari Pena Masyarakat, saat ini hanya tersisa sekitar 20 kepala keluarga yang masih bertahan di Pulau Sangiang, padahal pada tahun 1990-an jumlahnya pernah mencapai lebih dari 120. “Mereka perlahan hilang karena tekanan dan ketidakpastian hukum,” tambahnya. “Seharusnya mereka bisa berkembang, namun faktanya justru sebaliknya.”
Bantuan dari pemerintah pun sangat minim, seringkali hanya bersifat darurat, seperti saat terjadi bencana, tanpa adanya program pembangunan atau kepastian hukum atas tanah mereka. “Hanya bantuan sembako yang datang, tetapi tidak ada langkah untuk meningkatkan taraf hidup mereka,” keluhnya.
Di sisi lain, Faturahman, Kasi pengendalian dan penanganan sengketa BPN/ATR Kabupaten Serang, menegaskan ketidakpastian hasil mediasi yang diadakan antara warga Pulau Sangiang dan PT PKP. Ia mencemaskan potensi ketidakakuratan informasi yang mungkin muncul dari proses mediasi ini. “Kami belum sampai pada kesepakatan akhir, semua masih dalam tahap diskusi,” ungkapnya.
Penulis : Rasyid
Editor: Tb Moch. Ibnu Rushd