SERANG– Komnas Perlindungan Anak (PA) Provinsi Banten memberi perhatian serius terhadap rencana Gubernur Andra Soni, yang ingin menerapkan program mengirim anak-anak yang diduga bermasalah ke barak militer, mirip dengan inisiatif yang pernah dilaksanakan di Jawa Barat. Lebih dari sekadar langkah cepat, perlu ada evaluasi mendalam mengenai kebijakan ini, agar tidak hanya menjadi solusi represif tanpa mempertimbangkan konteks dan dampaknya.
Hendry Gunawan, ketua Komnas PA Banten, menegaskan bahwa pengiriman anak dianggap bermasalah harus menjadi bagian dari pendekatan yang lebih luas tentang penanganan anak. Ia mengingatkan bahwa fungsi khususi dalam hal pengawasan dan bimbingan idealnya sudah dimulai dari lingkungan terdekat: yakni keluarga, sekolah, dan lembaga terkait lainnya. Pendampingan ini harusnya bersifat konstruktif, bukan hanya menghukum.
“Dari pengalaman yang ada, langkah-langkah yang diambil oleh Kang Dedi Mulyadi di Jawa Barat bisa dipandang sebagai alternatif yang tumbuh dari kepedulian terhadap menurunnya kontrol sosial dan pembinaan anak,” ungkap Gunawan. Ia menyoroti pentingnya dasar hukum dalam proses pembinaan itu sendiri, dengan merujuk pada Undang-Undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 serta Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Sebagai langkah awal, Gunawan mendorong Pemprov Banten untuk mempertimbangkan alternatif lainnya sebelum melanjutkan rencana yang kontroversial tersebut. Usulan yang diberikan termasuk penguatan peran lembaga pendidikan dan sosial, serta Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dengan cara ini, diharapkan pemulihan anak tidak hanya berfokus pada aspek fisik, tetapi juga merangkum dimensi psikososial, spiritual, dan karakter.
Selain itu, penting untuk melakukan asesmen psikologis yang menyeluruh demi memahami kebutuhan individu anak. Gunawan memperingatkan agar jangan sampai semua anak diperlakukan sama; setiap kasus perlu penanganan berbeda sesuai dengan latar belakang dan situasi yang dihadapi. Penerapan model pembinaan yang sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal sangatlah penting. Anak-anak tidak seharusnya dilihat sebagai objek yang harus dibina, melainkan subjek yang berhak terlibat dalam proses identifikasi masalah yang mereka hadapi.
“Sering kali, permasalahan yang dihadapi anak-anak adalah cerminan dari pola asuh yang kurang mendukung di rumah mereka. Oleh karena itu, program edukasi untuk orang tua dalam bentuk pelatihan parenting juga menjadi krusial sebagai partisipasi keluarga dalam pembinaan anak,” tambahnya.
Terakhir, Gunawan menekankan perlunya tindak lanjut setelah proses pembinaan, seperti pemantauan perkembangan anak dan reintegrasi ke dalam masyarakat, serta dukungan pendidikan dan pelatihan keterampilan yang diperlukan. Dengan pendekatan yang menyeluruh, partisipatif, dan berbasis pada hak-hak anak, Pengmasan masa depan anak-anak di Banten dapat lebih baik dan berkelanjutan.
Penulis: Audindra Kusuma
Editor: TB Ahmad Fauzi