www.lineberita.id – SERANG – Kejaksaan Tinggi Banten baru-baru ini menerima pelimpahan tersangka dan barang bukti terkait kasus Pertamax oplosan di SPBU Ciceri, Kota Serang. Terdapat tiga tersangka dalam kasus ini, termasuk pengelola dan pengawas SPBU, Nadir Sudrajat dan Aswan alias Emon, serta satu tersangka baru bernama Deden.
“Proses ini sudah memasuki tahap dua sejak 19 Juni lalu, dan kini kami sedang menyusun dakwaan untuk segera disidangkan di Pengadilan Negeri Serang,” ungkap Kasi Penkum Kejati Banten, Rangga Adekresna saat ditemui pada 23 Juni.
Rangga menjelaskan bahwa dari berkas yang diterima, pihak kepolisian telah melimpahkan dua berkas dengan tiga tersangka. Deden, yang merupakan penyuplai BBM, bakal dihadapkan pada proses hukum selanjutnya.
Detail Kasus Pertamax Oplosan yang Menghebohkan
Menurut informasi yang diterima, kasus ini terungkap setelah viralnya video di media sosial pada bulan Maret lalu. Dalam video tersebut, seorang pengendara motor yang mengisi Pertamax di SPBU Ciceri merasa curiga ketika BBM yang dibelinya berwarna hitam pekat.
Wakil Direktur Kriminal Khusus Polda Banten, AKBP Bronto Budiono, mengonfirmasi bahwa kedua tersangka awalnya tidak mendapatkan BBM dari Pertamina Patra Niaga. Mereka justru mendapatkan BBM dari pihak berinisial DH di Jakarta dengan cara yang tidak sah.
Nadir, sebagai orang yang memimpin tindakan ini, memberikan instruksi kepada Aswan untuk membeli Pertamax dari DH dengan harga Rp10.200 per liter. BBM tersebut kemudian dijual di SPBU Ciceri dengan harga Rp12.900 per liter.
Dampak dari Opalasan BBM dan Ancaman Hukum untuk Para Tersangka
Prosedur tidak sah tersebut menimbulkan risiko bagi kendaraan yang mengisi BBM oplosan. Hasil dari tindak penipuan ini adalah kerusakan pada mesin kendaraan, yang dapat disebabkan oleh campuran bahan bakar yang tidak sesuai standar.
Bronto menegaskan bahwa penggunaan BBM oplosan dapat menyebabkan mesin mengalami kerusakan lebih serius, seperti mesin macet dan timbulnya kerak akibat panas berlebihan. Hal ini menunjukkan dampak yang signifikan bagi pengguna kendaraan.
Para tersangka diancam pasal 54 Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi junto Pasal 55 KUHP. Ancaman maksimal hukuman penjara selama 6 tahun dan denda mencapai Rp60 miliar siap menanti mereka jika terbukti bersalah.
Proses Penyidikan yang Melibatkan Laboratorium
Selanjutnya, Polda Banten melakukan pengujian laboratorium di Pertamina di Plumpang, Jakarta Utara, untuk membuktikan keaslian BBM. Hasil pengujian diterima Polda pada 5 April 2025, menunjukkan kualitas BBM yang tidak sesuai standar.
Dalam pengujian tersebut, angka final boiling point (FBP) Pertamax yang seharusnya maksimum di angka 215, ternyata berada di angka 218,5. Ini semakin menguatkan indikasi bahwa BBM tersebut telah dioplos secara ilegal.
Rangga memperingatkan bahwa tindakan ini bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga berpotensi merugikan konsumen dalam jangka panjang. Dengan adanya risiko kerusakan mesin, kerugian yang ditanggung pengguna bisa jauh lebih signifikan.
Kesimpulan dan Harapan untuk Penegakan Hukum yang Adil
Kasus Pertamax oplosan ini mencerminkan tantangan besar dalam penegakan hukum terhadap penyalahgunaan bahan bakar di Indonesia. Pengelola SPBU yang terlibat diharapkan mendapatkan konsekuensi yang setimpal sesuai hukum.
Pola-pola penipuan seperti ini memerlukan perhatian lebih dari pihak berwenang untuk melindungi konsumen dan menjaga integritas sektor energi. Harapan besar terletak pada proses hukum yang transparan dan adil, sehingga ke depan tidak ada lagi penyimpangan serupa.
Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat dan ketegasan dari aparat penegak hukum, diharapkan kasus-kasus serupa dapat diminimalisir, serta kepercayaan masyarakat terhadap kualitas dan keamanan bahan bakar kembali terjaga.