SERANG – Pengadilan Negeri Serang baru-baru ini menjatuhkan vonis kepada Yuliyanto (47), seorang mantan pegawai honorer Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Banten. Ia dijatuhi hukuman penjara selama 6 tahun dan 6 bulan setelah terbukti bersalah atas perbuatan asusila terhadap anak di bawah umur, yaitu seorang gadis berusia 14 tahun.
Ketua Majelis Hakim Diah Astuti Miftafiatun membacakan vonis pada hari Selasa (20/5/2025). Terdakwa dinyatakan melanggar Pasal 82 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Anak. Selain penjara, Yuliyanto juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp10 juta. Jika denda tersebut tidak dibayar, ia terancam menjalani tambahan hukuman penjara selama 3 bulan.
Penting dicatat bahwa vonis yang dijatuhkan oleh hakim lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang sebelumnya meminta agar Yuliyanto dipenjara selama 7 tahun dan 6 bulan. Keputusan ini tentu menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat, terutama mengingat dampak dari kejahatan seksual terhadap anak yang sangat serius.
Dalam putusan tersebut, hakim mempertimbangkan beberapa faktor. Hal yang memberatkan adalah bahwa perbuatan terdakwa telah merusak masa depan sang korban, yang seharusnyanya menjalani masa remaja dengan penuh kegembiraan. Namun, di sisi lain, terdapat juga keadaan yang meringankan, seperti pengakuan dan penyesalan terdakwa, yang menyampaikan janji untuk tidak mengulangi perbuatannya.
Setelah mendengar putusan tersebut, kuasa hukum Yuliyanto dan pihak JPU sama-sama memutuskan untuk berpikir selama tujuh hari apakah akan mengajukan banding. Hal ini menunjukkan bahwa proses hukum masih bisa berlanjut dan ada kemungkinan evaluasi lebih lanjut terhadap keputusan yang telah diambil.
Dalam proses hukum ini, diceritakan bahwa peristiwa pencabulan terjadi pada 4 Juli 2024. Korban yang pada saat itu ikut berkunjung ke rumah Yuliyanto bersama seorang temannya dipaksa masuk ke dalam kamar melalui jendela. Di dalam kamar tersebut, korban mengalami tindakan kekerasan, termasuk ancaman hingga kepadanya.
Kasus ini muncul ke permukaan ketika keluarga korban mulai melihat perubahan perilaku yang signifikan pada anak mereka. Korban yang biasanya ceria tiba-tiba menjadi murung dan menunjukkan tanda-tanda depresi. Setelah didorong untuk bercerita, korban membuka kisah kelam yang dialaminya, yang kemudian mendorong keluarganya untuk melapor kepada pihak berwajib.
Perkembangan dari kasus ini mengingatkan kita tentang urgensi perlindungan anak dari tindakan kriminal yang tidak manusiawi. Selain memberikan hukuman yang setimpal kepada pelaku, penting juga untuk membangun kesadaran masyarakat tentang bahaya pencabulan serta cara melindungi anak-anak dari ancaman tersebut.
Pengadilan menjadi tempat terakhir bagi pencari keadilan, dan setiap keputusan yang diambil harus membawa dampak positif bagi masyarakat, tidak hanya bagi korban tetapi juga pelaku. Harapan kita adalah agar kejadian serupa tidak terulang kembali dan anak-anak bisa tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman.
Penulis: Audindra Kusuma
Editor: Tb Moch. Ibnu Rushd
SERANG – Pengadilan Negeri Serang baru-baru ini menjatuhkan vonis kepada Yuliyanto (47), seorang mantan pegawai honorer Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Provinsi Banten. Ia dijatuhi hukuman penjara selama 6 tahun dan 6 bulan setelah terbukti bersalah atas perbuatan asusila terhadap anak di bawah umur, yaitu seorang gadis berusia 14 tahun.
Ketua Majelis Hakim Diah Astuti Miftafiatun membacakan vonis pada hari Selasa (20/5/2025). Terdakwa dinyatakan melanggar Pasal 82 ayat 1 Undang-Undang Perlindungan Anak. Selain penjara, Yuliyanto juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp10 juta. Jika denda tersebut tidak dibayar, ia terancam menjalani tambahan hukuman penjara selama 3 bulan.
Penting dicatat bahwa vonis yang dijatuhkan oleh hakim lebih ringan dibandingkan dengan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang sebelumnya meminta agar Yuliyanto dipenjara selama 7 tahun dan 6 bulan. Keputusan ini tentu menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat, terutama mengingat dampak dari kejahatan seksual terhadap anak yang sangat serius.
Dalam putusan tersebut, hakim mempertimbangkan beberapa faktor. Hal yang memberatkan adalah bahwa perbuatan terdakwa telah merusak masa depan sang korban, yang seharusnyanya menjalani masa remaja dengan penuh kegembiraan. Namun, di sisi lain, terdapat juga keadaan yang meringankan, seperti pengakuan dan penyesalan terdakwa, yang menyampaikan janji untuk tidak mengulangi perbuatannya.
Setelah mendengar putusan tersebut, kuasa hukum Yuliyanto dan pihak JPU sama-sama memutuskan untuk berpikir selama tujuh hari apakah akan mengajukan banding. Hal ini menunjukkan bahwa proses hukum masih bisa berlanjut dan ada kemungkinan evaluasi lebih lanjut terhadap keputusan yang telah diambil.
Dalam proses hukum ini, diceritakan bahwa peristiwa pencabulan terjadi pada 4 Juli 2024. Korban yang pada saat itu ikut berkunjung ke rumah Yuliyanto bersama seorang temannya dipaksa masuk ke dalam kamar melalui jendela. Di dalam kamar tersebut, korban mengalami tindakan kekerasan, termasuk ancaman hingga kepadanya.
Kasus ini muncul ke permukaan ketika keluarga korban mulai melihat perubahan perilaku yang signifikan pada anak mereka. Korban yang biasanya ceria tiba-tiba menjadi murung dan menunjukkan tanda-tanda depresi. Setelah didorong untuk bercerita, korban membuka kisah kelam yang dialaminya, yang kemudian mendorong keluarganya untuk melapor kepada pihak berwajib.
Perkembangan dari kasus ini mengingatkan kita tentang urgensi perlindungan anak dari tindakan kriminal yang tidak manusiawi. Selain memberikan hukuman yang setimpal kepada pelaku, penting juga untuk membangun kesadaran masyarakat tentang bahaya pencabulan serta cara melindungi anak-anak dari ancaman tersebut.
Pengadilan menjadi tempat terakhir bagi pencari keadilan, dan setiap keputusan yang diambil harus membawa dampak positif bagi masyarakat, tidak hanya bagi korban tetapi juga pelaku. Harapan kita adalah agar kejadian serupa tidak terulang kembali dan anak-anak bisa tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman.
Penulis: Audindra Kusuma
Editor: Tb Moch. Ibnu Rushd