SERANG– Kasus korupsi yang melibatkan bantuan sapi dari Kementerian Pertanian (Kementan) RI kembali menarik perhatian. Salah satu terdakwa, Sanwani, meminta agar dirinya dibebaskan, mengklaim bahwa dia tidak bersalah dalam kasus yang mengakibatkan kerugian negara tersebut. Melalui kuasa hukumnya, Sanwani menyerahkan pledoi kepada majelis hakim di Pengadilan Tipikor Serang, berharap untuk mendapatkan keadilan.
Tim kuasa hukum Sanwani, yang terdiri dari Daddy Hartadi, Rizal Mutaqin, dan Abdul Malik Fajar, secara bergantian menyampaikan permohonan tersebut. Mereka meminta majelis hakim untuk membebaskan Sanwani dari semua dakwaan yang diajukan oleh jaksa penuntut umum, menegaskan bahwa klien mereka tidak memiliki keterlibatan dalam kelompok tani Motekar yang seharusnya menerima bantuan tersebut.
“Kami memohon kepada majelis hakim untuk menyatakan bahwa Terdakwa Sanwani tidak bersalah,” ujar kuasa hukum. Mereka juga menegaskan pentingnya pemulihan nama baik Sanwani yang terancam karena kasus ini.
Kuasa hukum Sanwani berargumen bahwa klien mereka hanya meminjamkan kandang untuk digunakan oleh kelompok tani Motekar, dan oleh karena itu, dia tidak memiliki kepentingan dalam penyalahgunaan wewenang atau menguntungkan diri sendiri, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Lebih lanjut, mereka mengklaim kerugian negara sebesar Rp300 juta dari penjualan 20 ekor sapi bantuan tidak sah. Menurut mereka, sapi tersebut statusnya hibah dan bukan menjadi milik negara lagi sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Sementara itu, terdakwa lainnya, Jajang Kelana, yang merupakan anggota kelompok tani, mengakui kesalahannya dalam melakukan tindakan korupsi dengan menjual sapi bantuan. Namun, mereka tidak setuju dengan tuntutan pidana yang dijatuhkan oleh jaksa penuntut umum, karena Jajang telah mengakui kesalahan dan mengaku menyesali perbuatannya.
Jajang, melalui tim kuasa hukumnya, meminta hukuman yang lebih ringan, mempertimbangkan bahwa dia adalah tulang punggung keluarga dan belum pernah dihukum sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun mengakui kesalahan, ada rasa kemanusiaan yang dibawa oleh Jajang dan tim kuasa hukumnya dalam permohonan tersebut.
Menelusuri kembali, pada tahun 2023, Kementerian Pertanian mengalokasikan anggaran Rp1,8 miliar untuk membantu distribusi 120 ekor sapi kepada enam kelompok tani, di mana kelompok tani Motekar juga dicakup dalam program ini. Bantuan tersebut bertujuan untuk mengembangkan sapi jantan agar bisa dipotong dan dijual, sementara sapi betina digunakan untuk pengembangbiakan.
Proses awal penyampaian bantuan ini melibatkan komunikasi antara Jajang dan Dudi, ketua Poktan Motekar, yang mengungkapkan bahwa mereka tidak memiliki kandang untuk menampung sapi. Untuk menyiasati hal ini, Jajang kemudian berkomunikasi dengan Sanwani yang memiliki kandang sapi, dan sepakat untuk menggunakan kandang tersebut.
Pada Mei 2023, ada satu sapi yang mengalami sakit dan akhirnya harus disembelih sebelum dijual. Tindakan ini membuka jalan bagi penjualan sapi lainnya, yang terlibat dalam skandal. Terlepas dari itu, total penjualan sapi terkait kasus ini menghasilkan keuntungan yang cukup besar bagi Jajang dan Sanwani, menciptakan kerugian bagi negara.
Dengan berjalannya sidang ini, empat ekor sapi kembali dijual dengan harga yang sama, menunjukkan adanya pengulangan pola perilaku koruptif di antara terdakwa. Uang hasil penjualan tersebut menciptakan tanggung jawab tambahan bagi para pihak yang terlibat dan menimbulkan pertanyaan kritis tentang integritas dalam penggunaan anggaran pemerintah.
Sementara itu, proses hukum terus berlanjut, dengan harapan masyarakat agar keadilan dapat ditegakkan dan menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak terkait. Perkembangan kasus ini diharapkan tidak hanya membantu pemulihan kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintahan, tetapi juga menjadi pengingat akan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam administrasi negeri.